Beranda Artikel 0-12 Bulan Mengenal Asfiksia pada Bayi Baru Lahir dan Cara Menanganinya

Mengenal Asfiksia pada Bayi Baru Lahir dan Cara Menanganinya

2022/11/07 - 05:31:08pm     oleh Morinaga Soya
Mengenal Asfiksia Neonatorum Mulai Penyebab dan Cirinya

Halo Bunda, pernahkah mendengar istilah asfiksia neonatorum? Meski terdengar asing, kondisi ini sangat penting untuk dikenali oleh setiap orang tua, terutama pada saat menyambut kelahiran Si Kecil. Asfiksia adalah kondisi serius di mana bayi mengalami kekurangan oksigen dalam tubuh saat proses kelahiran atau sesaat setelah dilahirkan. Dampaknya tidak hanya bisa terlihat saat itu juga, tapi juga bisa memengaruhi perkembangan Si Kecil dalam jangka panjang jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat.

Kondisi ini sering ditandai dengan bayi yang tidak menangis, kesulitan bernapas, serta kulit dan bibirnya terlihat kebiruan. Asfiksia bukanlah hal sepele karena oksigen sangat penting untuk menunjang kerja otak dan seluruh organ tubuh bayi. Bila tidak segera diatasi, dapat menyebabkan kerusakan permanen atau bahkan berujung pada kematian. Oleh karena itu, yuk kenali penyebab, ciri-ciri, hingga penanganan dan pencegahan kondisi ini agar Bunda lebih siap menjaga kesehatan Si Kecil.

Apa Itu Asfiksia Neonatorum?

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), asfiksia terjadi ketika jaringan tubuh, terutama otak, tidak menerima oksigen dalam jumlah cukup. Hal ini bisa disebabkan oleh gangguan pada sistem pernapasan, pembuluh darah, atau jaringan tubuh bayi itu sendiri. Saat tubuh kekurangan oksigen, maka seluruh sistem akan terganggu karena oksigen dalam tubuh berperan penting dalam menyuplai energi bagi sel dan organ.

Data WHO menyebutkan bahwa sekitar 90.000 bayi meninggal setiap tahunnya akibat asfiksia, dan sebagian besar terjadi di negara berkembang. Di Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan bahwa 37% kematian bayi baru lahir pada usia 0–6 hari disebabkan oleh kondisi ini. Ini menunjukkan bahwa asfiksia pada anak-anak merupakan masalah yang nyata dan butuh perhatian serius dari semua pihak, terutama orang tua dan tenaga medis.

Penyebab Asfiksia yang Perlu Diketahui

Penyebab asfiksia bisa bermacam-macam, baik dari faktor bayi maupun faktor ibu saat proses persalinan. Salah satu penyebab utama adalah penyakit membran hialin, yaitu kondisi ketika paru-paru bayi belum matang sehingga tidak mampu menerima oksigen dengan baik. Hal ini sering terjadi pada bayi prematur yang lahir sebelum usia kehamilan 34–35 minggu.

Penyebab lain yang cukup sering ditemukan adalah sindrom aspirasi mekonium, di mana bayi secara tidak sengaja menghirup kotoran pertamanya (mekonium) ke dalam saluran pernapasan saat proses kelahiran. Mekonium yang seharusnya keluar setelah lahir justru masuk ke paru-paru dan mengganggu pernapasan.

Selain itu, ada pula kondisi bernama transient tachypnea of newborn (TTN) yang terjadi ketika paru-paru bayi masih terisi air ketuban karena tidak mengalami proses pengeluaran cairan seperti saat melalui jalan lahir normal. Bayi yang lahir melalui operasi sesar lebih berisiko mengalami kondisi ini.

Infeksi seperti pneumonia neonatal juga bisa menyebabkan asfiksia, karena paru-paru yang terinfeksi tidak mampu menyalurkan oksigen dengan optimal. Infeksi ini bisa terjadi saat bayi masih di dalam kandungan, terutama jika Bunda mengalami infeksi selama kehamilan.

Faktor tambahan lainnya meliputi tekanan darah ibu yang terlalu tinggi atau rendah, gangguan plasenta, anemia pada bayi, serta sumbatan saluran napas saat proses kelahiran.

Ciri-Ciri Bayi Mengalami Asfiksia

Gejala asfiksia biasanya sudah bisa dikenali sejak awal bayi dilahirkan. Bayi yang mengalami kondisi ini sering kali tampak pucat atau kebiruan, terutama pada kulit dan bibirnya. Ia juga terlihat kesulitan bernapas, misalnya melalui pernapasan cuping hidung atau gerakan pernapasan dari perut. Terkadang, otot-otot dada tampak berkontraksi berlebihan untuk membantu menarik napas.

Selain itu, denyut jantung bayi bisa terlalu cepat atau justru sangat lambat. Bayi juga akan tampak lemas atau bahkan kaku, menunjukkan otot tubuhnya tidak aktif. Respon terhadap rangsangan pun menurun, dan terkadang bayi hanya mengeluarkan suara merintih kecil, tanpa tangisan yang kuat. Semua tanda ini menunjukkan bahwa oksigen dalam tubuh tidak tersalurkan dengan cukup.

Dokter akan segera melakukan pemeriksaan menggunakan skor APGAR, yaitu metode penilaian yang melihat lima indikator utama: warna kulit (appearance), denyut jantung (pulse), respons terhadap rangsangan (grimace), aktivitas otot (activity), dan pernapasan (respiration). Skor tertinggi adalah 10, menandakan kondisi normal. Bila skor berada pada angka 7–9, kondisi bayi dianggap stabil. Namun, bila skornya 4–6, itu menandakan adanya gejala asfiksia ringan hingga sedang. Sedangkan skor 0–3 menunjukkan kondisi asfiksia berat yang perlu penanganan segera.

Pemeriksaan lanjutan seperti foto rontgen dada juga akan dilakukan untuk memastikan kondisi paru-paru dan mengetahui penyebab utama dari gangguan pernapasan tersebut. Ayah dan Bunda harus menyadari gejalanya sejak dini. Bunyi napas bayi seperti ngorok atau berbunyi ngik-ngik harus menjadi peringatan bagi orang tua untuk kemudian memeriksa kondisi Si Kecil. Untuk informasi selengkapnya, yuk baca di sini: Cara Menghilangkan Napas Si Kecil yang Berbunyi.

Cara Penanganan Asfiksia pada Bayi Baru Lahir

Penanganan asfiksia akan disesuaikan dengan tingkat keparahan dan waktu terjadinya kondisi tersebut. Jika asfiksia sudah terdeteksi sejak bayi masih dalam kandungan, dokter mungkin akan menyarankan persalinan darurat melalui operasi sesar untuk menyelamatkan nyawa bayi.

Bila bayi lahir dengan skor APGAR rendah, maka bantuan pernapasan akan segera diberikan. Dokter bisa menggunakan alat bantu napas seperti CPAP (Continuous Positive Airway Pressure) atau ventilator untuk menyalurkan udara ke paru-paru bayi. Dalam beberapa kasus, gas nitric oxide juga digunakan untuk memperluas saluran napas dan meningkatkan kadar oksigen dalam tubuh.

Untuk menstabilkan tekanan darah dan mengatasi kejang, dokter dapat memberikan obat-obatan tertentu. Semua tindakan ini dilakukan dalam ruang perawatan intensif neonatal (NICU) agar Si Kecil mendapatkan pemantauan ketat dan perawatan terbaik.

Pencegahan Asfiksia Sejak Masa Kehamilan

Langkah terbaik untuk menangani asfiksia sebenarnya dimulai sejak masa kehamilan. Bunda disarankan rutin melakukan kontrol kehamilan, termasuk USG dan pemeriksaan detak jantung janin, guna mengetahui kondisi bayi secara berkala. Deteksi dini terhadap risiko seperti tekanan darah tinggi, infeksi, atau masalah plasenta bisa membantu dokter merencanakan tindakan pencegahan sebelum persalinan.

Selama hamil, Bunda juga perlu menjaga kondisi tubuh dengan mengonsumsi makanan sehat, memperbanyak istirahat, dan menghindari stres. Bila Bunda memiliki riwayat medis tertentu seperti diabetes atau preeklampsia, penting untuk selalu berkonsultasi agar risiko komplikasi saat melahirkan bisa ditekan sekecil mungkin.

Pemberian vitamin prenatal sesuai anjuran dokter juga berperan besar dalam menjaga kesehatan ibu dan janin. Semua langkah ini adalah bagian penting dari upaya mencegah asfiksia pada anak-anak sejak awal.

Mengenali asfiksia sejak dini adalah salah satu bentuk perhatian besar Bunda terhadap tumbuh kembang Si Kecil. Jangan ragu untuk bertanya kepada tenaga medis bila menemukan gejala yang mencurigakan pada bayi baru lahir. Untuk informasi penting lainnya seputar kesehatan bayi dan cara mencegah kondisi serius seperti ini, kunjungi halaman edukatif Morinaga Soya dan terus dukung pertumbuhan Si Kecil dengan pengetahuan yang tepat.





medical record

Berapa Besar Risiko Alergi Si Kecil?



Cari Tahu
bannerinside bannerinside
allysca